Tujuh Poin untuk Memahami Hadits Nabi dengan Mudah

Hadits Nabi saw faktanya mudah dipahami oleh umatnya dengan cukup membaca teksnya saja. Hal ini sebagaimana fakta bahwa Sahabat Nabi mudah dalam menerima sabda-sabda beliau. Hanya saja, ada sebagian hadits yang memerlukan disiplin ilmu lain ketika dibaca.   Disiplin ilmu lain yang digunakan sebagain bantuan untuk mengantarkan kita kepada pemahaman hadits biasa disebut dengan ‘pendekatan’. 

Sebagian kecil hadits yang jika dipahami tanpa pendekatan yang benar, boleh jadi akan terjadi kontradiksi dan kontroversi atau bahkan malah tidak bisa dipahami sama sekali oleh umat Islam.    Andi Rahman, dalam buku “Pendekatan-pendekatan dalam Memahami Hadis” memaparkan setidaknya ada 7 disiplin ilmu yang dapat kita gunakan untuk memahami hadits Nabi, yaitu:    


1. Pendekatan Kebahasaan Tidak dapat dipungkiri bahwa hadits Nabi menggunakan bahasa Arab, sehingga pembaca hadits otomatis harus memahami bahasa Arab apabila mau memahaminya dengan baik dan benar. Faktanya, sebagian hadits ada yang dapat dipahami secara majazi, ada juga yang dapat dipahami secara hakiki dan majazi sekaligus. Baca Juga 'Perempuan sebagai Sumber Fitnah' dalam Kajian Hadits   Misalnya hadits yang dapat dipahami dengan majaz adalah istri Rasulullah saw yang paling cepat menyusul beliau ke alam barzakh adalah orang yang tangannya paling panjang. Hadits tersebut adalah: 

  عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِي أَطْوَلُكُنَّ يَدًا قَالَتْ فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا قَالَتْ فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا زَيْنَبُ لِأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا وَتَصَدَّقُ   

Artinya, “Dari 'Aisyah, iia berkata; Rasulullah saw bersabda: ‘Di antara kalian yang lebih dahulu bertemu denganku di hari kiamat kelak adalah yang paling panjang Iangannya.’ Aisyah berkata; ‘Lalu mereka, para istri Rasulullah, mengukur tangan siapakah yang paling panjang.’ Aisyah berkata; ‘Ternyata setelah di ukur-ukur Zainablah yang paling panjang di antara kami, karena ia sering beramal dan bersedekah dengan tangannya’.” (HR Muslim).   


 ‘Panjang tangan’ dalam redaksi hadits di atas dapat dipahami secara majazi, artinya bukan panjang tangan dalam artian tangannya berukuran panjang dalam satuan cm, akan tetapi panjang tangan dalam hadits tersebut maknanya adalah paling banyak beramal dan sedekah dengan tangannya.   Pendekatan kebahasaan dalam hadits juga dapat menggunakan takwil dalam praktiknya. Penggunaan takwil sah-sah saja dalam membaca teks Al-Quran maupun hadits. ad Baca Juga Mengenal Generasi Tabi’in dan Urgensinya dalam Kajian Hadits   Untuk melakukan takwil, syarat-syaratnya harus terpenuhi. Meniadakan takwil dalam bahasa Arab merupakan sebuah kesalahan, sebaliknya, berlebihan dalam menggunakan takwil juga merupakan sebuah kecerobohan. Misal hadits yang dapat dipahami dengan takwil adalah hadits qudsi:


   إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا ابْنَ آدَمَ، مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي   

Artinya, “Sesungguhnya hari kiamat nanti Allah berfirman, ‘Wahai anak Adam, aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku..” (HR Muslim).   Takwil dari hadits qudsi tersebut, maksud dari “Allah dalam kondisi sakit” adalah hamba-Nya ada yang sakit, yang jika ia dijenguk maka seakan-akan Allah yang dijenguk. Artinya ada keutamaan dan bentuk mendekatkan diri kepada Allah dalam menjenguk orang-orang yang sakit.   


2. Pendekatan Budaya dan Lokalitas Arab Nabi Muhammad menyebarkan dakwah Islam di tanah Arab tidak dapat dilepaskan perannya sebagai salah satu anggota masyarakat di wilayah tersebut. Artinya beliau mengakomodasi budaya-budaya Arab dalam kesehariannya.   Hanya saja, secara prinsip dalam Islam, budaya dan tradisi yang baik akan dilanjutkan oleh Nabi, dan yang buruk tentu akan ditinggalkan atau diperbaiki atau dimodifikasi.    Beberapa hadits Nabi, khususnya yang memiliki unsur budaya, ada yang perlu dicermati bahwa tidak sepenuhnya matan hadits tersebut bersisi wahyu dari Allah, meskipun tetap ada nilai universal yang terkandung di dalamnya.   Misal saja hadits-hadits soal busana pada masa Nabi seperti izar, qamis, sirwal, qalansuwah, jubbah, imamah, rida`, hibarah dan lain sejenisnya merupakan busana dan pakaian bangsa Arab.    Pakaian yang dikenakan oleh Nabi Muhammad, jubah misalnya, dipakai juga oleh kaum kafir Quraish masa itu semisal Abu Jahal dan Abu Lahab, sebab jubah adalah pakaian yang biasa dipakai oleh orang Arab dewasa di Makkah.   Oleh sebab itu, ketika membaca hadits-hadits yang berkaitan dengan tradisi dan budaya seperti halnya pakaian Nabi, maka yang harus dipahami dan diakomodasi adalah nilai universal di balik pakaian itu, misalnya menutup aurat, tidak menyerupai lawan jenis dan tidak ketat.   


3. Pendekatan Geografis Ada sebagian hadits yang memuat unsur geografis, semisal hadits-hadits soal arah kiblat dan hadits-hadits larangan menghadap atau membelakangi kiblat saat buang air besar.    Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad ṣallallāh ‘alayh wa sallam pernah menyatakan bahwa kiblat dalam salat adalah arah yang ada di antara timur dan barat. Tentang hadist arah kiblat, Nabi saw bersabda: 

  مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ   

Artinya, “Antara timur dan barat adalah arah kiblat.” (HR At-Tirmidzi).   Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa kiblat umat Islam adalah Kakbah, sedangkan Nabi ketika menyebutkan hadits ini sedang berada di Madinah, yaitu di wilayah utara Kakbah. Maka pengamalan hadits ini adalah “Bagi masyarakat Madinah, antara Timur dan Barat adalah arah kiblat.”   


4. Pendekatan Sabab Wurud Hadits Sabab wurud hadits penting sekali diketahui untuk mencapai pemahaman hadits yang benar. Dengan memahami sabab wurud atau latar belakang munculnya sabda Nabi, maka kita dapat mengetahui motif atau faktor apa yang menjadikan sabda tersebut ada.  Misalnya adalah hadits tentang berpuasa di saat perjalanan bukanlah suatu kebaikan, yaitu:  

 لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ   


Artinya, “Bukan termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan.” (HR An-Nasa’i).   Tanpa Tanpa dipahami dengan sabab wurudnya, hadits ini akan memunculkan kontradiksi dengan ayat Al-Quran yang menyatakan puasa saat seseorang dalam perjalanan dianggap bukan kebaikan, sementara Al-Qur’an menyatakan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan walaupun mereka diperbolehkan untuk berbuka.   Jika melihat sabab wurud hadits, ada riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini dilatarbelakangi oleh seorang laki-laki yang sangat lemah akibat berpuasa padahal ia dalam perjalanan. Akhirnya, Nabi merespons kondisi laki-laki tersebut dengan menyatakan bahwa berbuka puasa merupakan dispensasi bagi orang yang dalam perjalanan.   


5. Pendekatan ‘Illat dalam hadits ‘Illat dapat dipahami sebagai penyebab adanya hukum. Menggunakan pendekatan ‘illat dalam membaca hadits, artinya menelisik apa sebenarnya latar belakang dari hukum yang disabdakan Nabi pada suatu hadits. Misalnya hadits yang menjelaskan larangan menggunakan wadah minum dari wadah tertentu, haditsnya: 

  لا تشربوا في الدُّبَّاء والمزفَّت والنَّقير والحنَتْم، واشربوا في الأسقي   


Artinya, “Janganlah kalian minum dari Ad Dubaa’, Al Muzaffat, An Naqir dan Al Hantam, tapi minumlah dari tempat-tempat air yang terbuat dari kulit.” (HR Ahmad).   Pada hadits di atas, ‘illat dilarangnya wadah-wadah minuman seperti Ad-Dubba, Al-Muzaffat, An-Naqir dan Al-Hantam karena wadah-wadah tersebut digunakan orang-orang Jahiliyah untuk menaruh minuman yang memabukkan atau khamr.   Hanya saja, ketika ‘illat-nya tidak ada, misal wadah-wadah tersebut digunakan sebagai wadah minuman yang halal maka keharamannya atau ketidakbolehannya pun hilang.   6. Pendekatan Jam’ur riwayat (menggabungkan riwayat) Menggabungkan riwayat hadits adalah salah satu metode yang tepat untuk memahami satu tema dalam hadits secara komprehensif. Jam’ur riwayat layaknya metode tematik hadits, di mana satu tema dicarikan hadits-haditsnya sehingga pemahaman terhadap hadits menjadi utuh tidak setengah saja.   Misalnya hadits-hadits yang menjelaskan tentang mayit ditambah siksaannya karena tangisan keluarganya. Ternyata ‘Aisyah mengetahui latar belakang Rasulullah saw bersabda demikian, yaitu suatu hari ada ada jenazah orang Yahudi, sedang keluarganya menangisi mayit tersebut dengan berlebihan, sehingga Nabi pun bersabda demikian.   7. Pendekatan Maqashid Sunnah Membaca hadits melalui pendekatan Maqashid Sunnah artinya kita menyelaraskan hadis-hadis yang kita baca sesuai dengan tujuan Nabi. Misal, ada hadits  “Wajib haji itu hanya sekali. Orang yang menambah, maka dia telah melakukan tatawwu’ (sunnah).”   Apabila hadits di atas digunakan oleh sebagian orang untuk haji berulang sementara ada sebagian muslim lainnya yang sudah memenuhi syarat untuk melaksanakan haji namun terhalang karena sudah dipenuhi orang-orang yang haji berulang, maka otomatis ia telah menyalahi maqashid sunnah.   Maqashid sunnah atau maksud dari hadits yang ditujukan Nabi dalam hadits tersebut adalah menjelaskan bahwa haji itu wajib dan hendaknya setiap muslim melaksanakan haji apabila dirinya mampu. Sedangkan haji yang kedua dan selanjutnya hanya dihitung sunnah dan bukan wajib.   Demikianlah 7 pendekatan yang dapat digunakan para pembaca hadits. Pendekatan ini dapat digunakan baik dalam kajian hadits secara umum maupun penelitian di tingkat kampus dan universitas. 




Belum ada Komentar untuk "Tujuh Poin untuk Memahami Hadits Nabi dengan Mudah "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel